LEBAK – Banten tak pernah kehabisan cerita. Provinsi yang baru di bagian barat tanah Jawa ini punya segudang potensi pariwisata. Dari petualangan alam yang menantang, panorama yang mengundang decak kagum sampai keunikan budaya masyarakatnya. Tentu saja, semua itu bila digarap serius bisa jadi nilai tambah bagi perekonomian penduduk.
Provinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat-tradisi yaitu Suku Badui. Mereka di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Perkampungan masyarakat Badui pada umumnya terletak pada daerah aliran sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng, Banten Selatan. Letaknya sekitar 172 km sebelah barat ibukota Jakarta; sekitar 65 km sebelah selatan ibu kota Provinsi Banten.
Pinda Octariano, tour officer Saptawira Adhitama Tours & Travel cuma bisa geleng-geleng kepala ketika mengunjungi masyarakat Badui beberapa waktu lalu. Bukan apa-apa, ia begitu kagum dengan kehidupan tradisional ini.
Bagi pemuda berkacamata ini, yang terbiasa hidup di kota metropolis – Jakarta, kehidupan yang sederhana itu terasa begitu primitif. “Bayangin, di sana nggak ada listrik dan pompa air. Kalo malam jadinya gelap gulita. Kebetulan karena kita datang, mereka baru nyalakan lampu templok.”
Berbicara dalam gelap buat mereka sudah biasa. Tapi buat Pinda dan kawan-kawannya itu adalah sesuatu yang ganjil. Maklum, di rumah mereka terbiasa dengan penerangan yang terang-benderang.
Keheranan mereka tak sampai di situ. Waktu mau mandi, mereka terlihat begitu rikuh. Pasalnya, nggak biasa mandi kali. Shower yang ada bukan terbuat dari bahan logam, tetapi dari belahan batang bambu yang diselipkan pada aliran air. Soal mutu airnya, tak perlu ragu lagi. Cuma karena nggak biasa Pinda akhirnya batal mandi pagi.
Acara jalan-jalan santai ini sebetulnya merupakan ajakan dari Semeru Indah Wisata. Ini rekanan dari Saptawira Adhitama Tours & Travel. Mereka mengajak Pinda dan Vita Justicia untuk mencicipi paket pelesiran yang baru, Weekend to Badui Village. Nantinya, paket dua hari satu malam ini akan “menembak” pasar wisatawan lokal dan mancanegara.
Perkampungan Badui sebetulnya sudah terkenal dari sejak dulu. Tak jelas kapan pastinya, kehidupan masyarakat bersahaja ini mulai dijual sebagai wisata budaya dan petualangan. Kata Pinda, Badui kebanyakan dijelajahi oleh para penggemar petualangan. “Kalau perusahaan travel rasanya baru pertama kali yang kemarin itu deh.”
Vita Justicia ikut menimpali, “Kami mau coba jajaki paket (Badui) ini untuk dijual kepada mahasiswa dan anak-anak sekolah. Paling nggak ada tiga sampai empat orang saja sudah kita berangkatkan.” Dari situ, pelan-pelan mereka akan membidik pasar buat orang-orang yang suka petualangan.
Cerita soal Badui memang menarik diikuti. Konon, para ilmuwan, masyarakat Indonesia dan internasional yang menamakan kelompok penghuni di kawasan pegunungan Kendeng, Banten Selatan itu sebagai orang Badui. Kata Badui itu sendiri datang dari sebuah bukit “gunung Badui” dan mata air CiBadui di selatan Kampung Kerdu Ketug, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar.
Orang Badui sendiri menamakan kelompok mereka dengan sebutan Orang Kanekes. Nama Kanekes berasal dari sungai Cikanekes yang mengalir di daerah itu.
Ada dua kelompok penduduk di kawasan seluas sekitar 5.102 ha di Kabupaten Lebak itu. Yang terbesar, sekitar 7.000 jiwa. Kelompok ini disebut Urang Panamping (Orang Panamping, sebutan untuk Badui Luar). Mereka tinggal di bagian utara wilayah tadi. Masyarakat ini menempati 28 kampung yang punya delapan anak kampung (babakan). Di bagian selatan, terdapat hunian orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai Urang Tangtu (Badui Dalam).
Pada tahun 2000, kelompok yang mendiami tiga buah kampung itu (Cikeusik, Cikartawana dan Cibeo) populasinya mendekati 800 jiwa. Orang Tangtu menyebut saudara-saudara mereka di bagian utara (yang ciri khas ikat kepalanya bercorak batik warna biru tua) dengan Urang Kaluaran (orang yang dikeluarkan). Orang Kaluaran memanggil saudara mereka di bagian selatan sebagai Urang Girang.
Etos kerja orang Badui
Orang Badui atau Urang Rawayan adalah sekelompok komunitas Sunda yang kebudayaannya dianggap kebudayaan minoritas (culture minority), sebab mereka dianggap oleh orang yang tidak tahu sebagai etnis minoritas. Badui bukan etnis minoritas. Masyarakat Badui adalah bagian dari etnis Sunda.
Perubahan administratif suatu geografis tidak serta-merta menyebabkan etnis yang terpisahkan itu menjadi etnis Cina, Batak, Padang, dan lain-lain, sejauh kedua etnis terpisahkan oleh dinding administratif itu tetap terikat oleh filsafat, kesenian, bahasa, dan kepercayaan yang sama. Dan sampai hari ini, orang Badui masih bertutur kata Sunda, berfilsafat Sunda, berkesenian Sunda, dan berkepercayaan Sunda.
Orang Badui adalah salah satu komunitas Sunda yang cerdas memelihara dirinya dari jerat-jerat kebudayaan eksogen yang dihasilkan lewat out breeding kebudayaan luar yang dibawa oleh individu-individu yang miskin kultural. Orang Badui masih mampu memelihara identitas diri (self identity) etnisnya.
Identitas diri atau jati diri adalah cara seseorang memandang, membayangkan, dan mencirikan dirinya. Identitas diri pada umumnya ditampakkan lewat cara seseorang berpakaian. Pakaian orang Badui, sangat khas berciri etnik. Mereka tidak malu berpakaian tidak sebagaimana umumnya masyarakat sekelilingnya. Dan tak seorang pun di antara kita yang memandang rendah.
Kecuali orang Badui, kita termasuk orang-orang yang kehilangan identitas dirinya. Bangsa-bangsa yang cerdas memelihara identitas dirinya di antaranya adalah bangsa India, bangsa Afrika, bangsa Cina, bangsa Melayu, dan bangsa Jepang. Bangsa-bangsa tersebut sekurang-kurangnya tetap memelihara identitas dirinya lewat caranya berpakaian. Dan bangsa Sunda, daripada berpakaian etnisnya, mereka lebih memilih pakaian model bangsa Arab, seperti gamis dan surban. Bisa jadi orang-orang Sunda tersebut membayangkan, memandang, dan mencirikan dirinya sebagai orang Arab dan hal itu absah sangat.
Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, masyarakat yang memiliki konsep inti kesederhanaan ini belum pernah mengharapkan bantuan dari luar. Mereka mampu secara mandiri dengan cara bercocok tanam dan berladang (ngahuma), menjual hasil kerajinan tangan khas Badui, seperti Koja dan Jarog (tas yang terbuat dari kulit kayu Teureup); tenunan berupa selendang, baju, celana, ikat kepala, sarung serta golok/parang, juga berburu.
Masyarakat Badui bagaikan sebuah negara yang tatanan hidupnya diatur oleh hukum adat yang sangat kuat. Semua kewenangan yang berlandaskan kebijaksanaan dan keadilan berada di tangan pimpinan tertinggi, yaitu Puun. Puun bertugas sebagai pengendali hukum adat dan tatanan hidup masyarakat yang dalam menjalankan tugasnya itu dibantu juga oleh beberapa tokoh adat lainnya.
Sebagai tanda setia kepada Pemerintahan RI, setiap akhir tahun mereka menggelar upacara Seba kepada ”Bapak Gede” (Panggilan Kepada Bupati Lebak) dan Camat Leuwidamar.
Pemukiman masyarakat Badui berada di daerah perbukitan. Tempat yang paling rendah berada pada ketinggian 800 meter di atas permukaan laut. Sehingga dapat dibayangkan bahwa rimba raya di sekitar pegunungan Kendeng merupakan kawasan yang kaya akan sumber mata air yang masih bebas polusi.
Lokasi yang dijadikan pemukiman pada umumnya berada di lereng gunung, celah bukit serta lembah yang ditumbuhi pohon-pohon besar, yang dekat dengan sumber mata air. (bay)
Copyright © Sinar Harapan 2003