Membaca tulisan pada surat pembaca Bali Post, Minggu, 24 April 2005 yang dikirimkan oleh Saudara I Wayan Aksara dari Banjar Kutri, Buruan, Gianyar, saya menjadi tergelitik untuk ikut menyampaikan pengalaman saya. Beberapa waktu lalu saya beserta beberapa teman yang semuanya orang Bali bermaksud berekreasi ke Desa Trunyan yang telah lama tak dikunjungi.
Begitu tiba di dermaga penyeberangan kami harus menghabiskan banyak waktu untuk bernegosiasi dengan pengemudi perahu boat untuk mendapatkan harga yang menurut kami pantas. Hal ini tidak begitu kami hiraukan karena kami anggap masih wajar-wajar saja.
Tiba di Desa Trunyan kami langsung disambut dan dikerumuni oleh beberapa laki-laki usia produktif, dan langsung menengadahkan tangan minta uang. Bermacam cara dilakukan mereka, ada yang hanya mengatakan ''Pak nunas jinahe'', ada yang hanya menggunakan isyarat untuk meminta uang pada kami, ada pula yang mengatakan, ''Pak, berilah sedikit uang untuk kami bisa membeli minuman di warung.'' Pikir saya, ternyata telah begini parahnya kondisi di objek wisata Desa Trunyan. Apakah hal yang sama juga mereka lakukan terhadap wisatawan? Bagaimana jadinya kenyamanan wisatawan yang datang untuk menikmati kedamaian di Desa Bali Aga yang masih kuat memegang adat masa lalu?
Sesampainya di kuburan desa, penghadangan yang sama juga terjadi dan kami hanya diam tak menghiraukan mereka. Sampai di depan deretan kuburan jenazah, kami melihat banyak uang yang berserakan di tanah termasuk uang pecahan lima puluh ribu rupiah. Seorang laki-laki mengatakan pada kami untuk memberi sedekah dan menaruhnya di atas tanah, dan ia mengatakan bahwa telah banyak orang yang bersedekah. Tetapi teman saya memberitahu agar jangan dituruti karena uang yang banyak itu hanya akal-akalan orang tadi.
Setelah rekreasi berakhir dalam perjalanan pulang, perahu boat kami juga dihadang oleh beberapa orang berperahu sampan berdayung yang juga melakukan hal yang sama, yaitu menengadahkan tangan dengan maksud meminta uang. Teman saya hanya memberi pada seorang yang kelihatannya sudah tua, karena kasihan.
Dari pengalaman tersebut saya sama sekali tidak mendapat kenangan apa pun dari Desa Trunyan, apalagi tentang keindahan masa Bali Kuna yang hendak saya nikmati, selain tangan-tangan menengadah untuk meminta uang. Saya sangat prihatin, apalagi tangan-tangan itu masih cukup kuat untuk bekerja. Akhirnya pengalaman unik ini berakhir di dermaga dengan tangan menengadah yang terakhir, yaitu tangan si tukang perahu sendiri yang kelihatannya juga orang Trunyan, meminta tambahan uang, padahal kami telah membayarnya.
Akankah hal ini kita "jual" juga kepada wisatawan, yang ingin menikmati keunikan kehidupan Bali Aga?
I Ketut Muliarta, A.Md
Br. Batannyuh, Desa Batannyuh
Kec. Marga, Tabanan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Try Out UN | Matematika | SD
Naskah Try Out UN untuk SD berikut ini sudah saya ujicobakan pada anakku menjelang UN 2011 : Try Out #1 - Matematika SD Try Out #2 - Matemat...
-
Membaca tulisan pada surat pembaca Bali Post, Minggu, 24 April 2005 yang dikirimkan oleh Saudara I Wayan Aksara dari Banjar Kutri, Buruan, G...
-
SETELAH penolakan bertubi-tubi menghadang penetapan Taman Nasional Gunung Merapi dan Gunung Merbabu di Jawa Tengah, kini penolakan juga berm...
-
Gunung Merapi (2914 meter) hingga saat ini masih dianggap sebagai gunung berapi aktif dan paling berbahaya di Indonesia, namun menawarkan pa...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar