Kamis, Desember 08, 2005

Demi Elang Jawa atau Masyarakat Sunda?


SETELAH penolakan bertubi-tubi menghadang penetapan Taman Nasional Gunung Merapi dan Gunung Merbabu di Jawa Tengah, kini penolakan juga bermunculan dan semakin menghangat berkenaan dengan ditetapkannya Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional di Jawa Barat. Penolakan itu lebih mengedepankan kepentingan masyarakat etnis Sunda, yang tinggal di sekitar gunung tersebut, daripada usaha pelestarian burung dan binatang yang melata di dalamnya.

DENGAN Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 424/Menhut- II/2004, pemerintah pusat melalui Menteri Kehutanan terdahulu, M Prakosa, menetapkan Gunung Ciremei sebagai Taman Nasional. SK Menhut tersebut praktis mentransformasi Kawasan Hutan Lindung Gunung Ciremai Menjadi Taman Nasional.

Sebelumnya, berdasarkan keanekaragaman hayati, kawasan wisata, dan daerah resapan air (water catchment area), Menhut menerbitkan SK Menhut Nomor 419/Kpts-II/1999 Tentang Penetapan Kawasan Ciremai menjadi Kawasan Lindung. SK Menhut disambut pula oleh SK Gubernur Jawa Barat Nomor 552/1224/Binprod tentang Perlindungan dan Pengamanan Hutan di Jabar, dengan salah satu poin Pelarangan Tumpang Sari di kawasan Lindung, dan penanaman di kemiringan tertentu.

Gunung Ciremai merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat yakni 3.078 meter di atas permukaan laut, dengan luas 15.518,23 hektar. Gunung ini terletak di dua kabupaten, yakni Kabupaten Kuningan seluas 8.205,38 hektar dan Kabupaten Majalengka 7.308,95 hektar.

Dari sisi keanekaragaman hayati, Gunung Ciremai dikenal sebagai habitat elang Jawa (Spozaetus bartelsii), macan kumbang, lutung, harimau, dan bunga Edelweiss.

MATA air Cipaniis, Apuy, Desa Jambu, Gunung Sirah, dan Ciinjuk, juga dikenal luas sebagai pemasok air kawasan Kuningan, Majalengka, Kabupaten Cirebon, dan Kota Cirebon.

Ketua Kelompok Kerja Ciremai, Avo Juhartono, menyatakan bahwa penetapan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) hanya didasari pada keberadaan segelintir elang Jawa. Padahal, seharusnya ada penelitian lebih mendalam.

"Kami kecewa karena pemerintah menetapkan TNGC, tanpa mengindahkan proses pembicaraan yang sedang berlangsung. Penetapan dengan ketergesaan ini harus diulangi sehingga masyarakat tidak dirugikan dengan TNGC," kata Avo Juhartono.

Tanggal 8 Oktober 2004 bertempat di Departemen Kehutanan dilakukan ekspose usulan TNGC oleh Pemkab Kuningan diwakili Asisten Daerah (Asda) I dan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan serta wakil akademisi dari Universitas Kuningan. Dalam pertemuan ini, Avo juga ikut hadir.

Avo menuding Surat Bupati Kuningan Nomor 522/1480/ Dishutbun tertanggal 26 Juli 2004, Surat Bupati Majalengka Nomor 522/2354/Hutbun tertanggal 1 September 2004, dan Surat DPRD Kabupaten Kuningan Nomor 061/226/DPRD tertanggal 1 September 2004, yang memengaruhi pemerintah pusat (Dephut) dalam penetapan TNGC.

Padahal, surat tersebut belum tentu aspiratif. Dengan ketergesaan ini, Avo Juhartono mempertanyakan kedalaman proses pengambilan data hingga pelibatan peran serta warga.

"Pemerintah harus menanyai langsung aspirasi rakyat, dan hal ini dapat dilakukan dengan pembentukan tim khusus. Harus dijelaskan wacana TN dan konsekuensi yang diterima warga," kata Avo. Berdasarkan data LSM Aktivis Anak Rimba (Akar), di wilayah Kuningan terdapat 24 desa yang berada di lereng Ciremai, sedangkan di kawasan Majalengka terdapat 23 desa. Dia mengkhawatirkan kecilnya akses masyarakat untuk dapat bertani di kaki Ciremai.

PAGUYUBAN Masyarakat Tani Hutan (PMTH) Kabupaten Kuningan menyatakan diri menolak penetapan TNGC, yang dibuat tanpa partisipasi masyarakat. Mereka mempertanyakan komponen masyarakat yang telah ditanyai pemerintah daerah berkenaan dengan pembentukan TN.

"Pemkab Kuningan menyatakan telah meminta aspirasi masyarakat. Masyarakat yang mana? Kami ini yang bermukim tepat di lereng Ciremai, bahkan tidak pernah merasa ditanyai pemerintah. Apakah Bupati hanya menanyai kepala desa? Benarkah jawaban mereka, sungguh-sungguh sesuai dengan aspirasi kami?," ujar seorang warga Dusun Palutungan, Desa Cisantana, Cigugur, Kabupaten Kuningan.

Menanggapi hal itu, Bupati Kuningan Aang Hamid Suganda mengatakan, akselerasi proses penetapan TNGC keluar dari keprihatinannya menyaksikan proses perusakan di Gunung Ciremai. "Saya tiap bulan mendaki lereng Ciremai, dan selalu menyaksikan proses penggundulan baru. Maka, dengan visi mempertahankan Gunung Ciremai, diambil langkah pembentukan TNGC," kata dia, saat dijumpai Kompas di rumah dinas Bupati Kuningan, akhir bulan November lalu.

"Sebagai orang yang besar di Bogor di kaki Gunung Salak, saya terbiasa ’dekat’ dengan hutan. Dan, kerusakan hutan di beberapa titik di Gunung Ciremai sangat memprihatinkan. Sementara Perhutani-dengan status profit-nya-saya duga tidak mampu berbuat banyak untuk mereboisasi Ciremai," ujar Aang Hamid.

Aang Hamid menjelaskan dengan status TN, maka pemerintah pusat diharapkan mulai tahun depan dapat melakukan tindakan penyelamatan Gunung Ciremai.

Dia pun tidak menafikan adanya kekhawatiran tertutupnya akses memasuki Gunung Ciremai. Namun, Bupati Kuningan berjanji untuk memperjuangkan masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Ciremai agar bisa tetap mendapatkan penghidupan dari sekitar gunung tersebut.

Jadi, pemerintah diminta tidak hanya memikirkan nasib elang Jawa.... (HARYO DAMARDONO)

Kompas 2003

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Ah gak kok saya sebagai warga gunungsirah malah senang sekali dengan di tetapkan nya TNGC,,karena warga dengan sendirinya menyadari bahwa perusakan hutan TNGC sangat merugikan bagi masyarakat sekitar TNGC dan desa lainnya.

Try Out UN | Matematika | SD

Naskah Try Out UN untuk SD berikut ini sudah saya ujicobakan pada anakku menjelang UN 2011 : Try Out #1 - Matematika SD Try Out #2 - Matemat...