Naskah Try Out UN untuk SD berikut ini sudah saya ujicobakan pada anakku menjelang UN 2011 :
Elang Rimba Puri Kedungwuni
Selasa, November 01, 2011
Minggu, Maret 15, 2009
Nusakambangan Masih Tertutup untuk Wisata
Cilacap – Meski sudah sebulan lebih pascatsunami di Cilacap, Jawa Tengah, objek wisata di Pulau Nusakambangan masih tertutup bagi wisatawan. Bahkan, objek wisata di Pantai Permisan sama sekali belum tersentuh penanganan.Sebelum terjadi tsunami, Pantai Permisan merupakan salah satu objek wisata yang terus digemborkan oleh Dinas Pariwisata Cilacap. Selain sebagai wisata laut, di beberapa tempat di Nusakambangan juga terdapat wisata religius maupun wisata ilmiah ke hutan tropis. Bahkan, Dinas Pariwisata mengagendakan paket khusus kunjungan ke pulau itu setiap Sabtu dan Minggu. Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Cilacap, Budi Sulistyawan, menjelaskan sampai Selasa (22/8) kunjungan ke objek wisata di Pulau Nusakambangan memang belum dibuka lagi. Alasan utamanya, karena fasilitas pendukung dan sarananya banyak yang hancur akibat dihempaskan gelombang tsunami dan sampai saat ini belum diperbaiki.“Kami akan melakukan koordinasi dulu dengan Kalapas Batu selaku Ketua BPOW (Badan Pengelola Objek Wisata) Nusakambangan. Sebab, sejumlah sarana pendukung seperti gardu pandang harus diperbaiki lebih dulu,” lanjut Budi.Dia menambahkan, koordinasi dengan BPOW Nusakambangan memang harus dilakukan mengingat sampai saat ini status kepemilikan Pulau Nusakambangan masih diklaim sebagai milik Departemen Hukum dan HAM. Tetapi, Budi belum memastikan kapan rapat koordinasi itu akan digelar. “Yang jelas, secepatnya kami akan melakukan koordinasi, terutama membahas soal dana perbaikan sarana yang hancur akibat tsunami,” katanya.Kondisi objek wisata terutama di kawasan Pantai Permisan memang masih terlihat berantakan. Sejumlah fasilitas seperti gardu pandang, tempat peristirahatan pengunjung, tugu serta gapura masuk ke kawasan pantai itu sudah menjadi puing-puing yang berserakan di mana-mana. Kawasan Pantai Permisan menjadi lokasi yang paling parah karena tepat berada di bibir pantai. Selain persoalan itu, kerusakan jalan menuju Pulau Nusakambangan juga semakin parah. Di sejumlah titik mulai dari Dermaga Sodong hingga Pantai Permisan, terlihat lubang-lubang besar yang hanya ditutup dengan batu kapur. (sutriyono)
*) Gambar-gambar tidak ada hubungan dengan tulisan
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0608/23/nus02.html
Sabtu, Februari 28, 2009
Taman Bunga Nusantara
Taman Bunga Nusantara (TBN) banyak memiliki beragam koleksi bunga yang indah dan segar, mulai dari tanaman untuk iklim tropis maupun untuk iklim dingin, bahkan tidak hanya bunga yang berasal dari Indonesia, bunga yang berasal dari seluruh dunia pun ada. Selain menyegarkan mata, kita juga akan mendapatkan banyak wawasan baru mengenai bunga.TBN terletak di Desa Kawung-luwuk Kecamatan Sukaresmi Cipanas-Cianjur, dengan luas lahan 35 hektar, Taman Bunga Nusantara menyajikan keindahan dan pesona bunga serta alam yang tertata apik. Berdiri sejak 10 tahun silam tepatnya pada tanggal 10 September 1995, taman display pertama di Indonesia ini dilengkapi dengan berbagai koleksi tanaman bunga yang terkenal dan unik di seluruh dunia.Untuk menuju ke TBN, waktu yang bisa ditempuh dari Jakarta lebih kurang 2 sampai 3 jam. Melalui jalan raya puncak, sampai melewati puncak pass, dan belok kiri ke arah Perumahan Kota Bunga. Dari persimpangan ini jaraknya hanya 9 km.Saat memasuki pintu utama kita langsung disuguhi keindahan tanaman bunga yang dibentuk menyerupai burung merak. Pada ekornya disusun berbagai jenis tanaman bunga beraneka warna, burung merak ini memiliki daya tarik tersendiri untuk dilihat. Tidak jauh dari burung merak terdapat jam raksasa yang disusun pula dari berbagai jenis tanaman bunga. Jangan dikira jam raksasa ini hanya pajangan belaka ternyata jam ini bergerak dan berdentang setiap jam.Selain sebagai sarana rekreasi TBN juga dipakai sebagai kebun percobaan dengan berbagai jenis bunga dan tanaman tertentu yang berasal dari daerah subtropis dan negara-negara beriklim dingin di Eropa, Amerika, dan Australia. Ada berbagai macam taman khusus yang ditampilkan di TBN, mulai dari taman air, taman mawar, taman Perancis, taman rahasia (labirynth), taman bali, taman mediterania, taman palem, dan taman gaya Jepang.Ditunjang pula dengan fasilitas seperti rumah kaca, danau angsa, rafflesia mini theater, gazebo, alam imajinasi, lokasi piknik, amphitheater (panggung terapung) kereta datto, mobil wira-wiri, menara pandang, poliklinik, nany’s galleria dan penunjang lain bagi anda yang ingin mengadakan acara di halaman rumput yang luas. Apabila Anda datang ke Taman Bunga Nusantara, Anda akan memiliki sejuta kenangan akan keindahan keanekaragaman tanaman bunga yang tidak bisa dijumpai di tempat lain. (IP)
Sumber : http://www.puncakview.com/TBN.htm
Sumber : http://www.puncakview.com/TBN.htm
Senin, Januari 16, 2006
Nias Selatan
CERITA tentang Nias Selatan nyaris tidak lepas dari tradisi hombo batu. Atraksi lompat batu khas daerah ini pernah menghiasi lembaran uang seribu rupiah. Selain itu, Sorake, salah satu pantai di daerah itu, akrab di telinga penggemar olahraga selancar. Turnamen selancar tingklat dunia beberapa kali diadakan di pantai itu.
NAMUN, untuk langsung ke Teluk Dalam, ibu kota Kabupaten Nias Selatan, perlu usaha ekstra. Transportasi ke daerah ini masih tergolong sulit. Butuh waktu berjam-jam, bahkan bisa menghabiskan satu hari, untuk bisa menginjakkan kaki di kabupaten baru ini.
Nias Selatan sebelumnya adalah bagian Kabupaten Nias. Status otonom diperoleh pada 25 Februari 2003. Kabupaten ini terdiri dari 104 gugusan pulau besar dan kecil. Letak pulau- pulau itu memanjang sejajar Pulau Sumatera. Panjang pulau-pulau itu lebih kurang 60 kilometer, lebar 40 kilometer.
Dari seluruh gugusan pulau itu, ada empat pulau besar, yakni Pulau Tanah Bala (39,67 km2) Pulau Tanah Masa (32,16 km2), Pulau Tello (18 km2), dan Pulau Pini (24,36 km2). Tidak seluruh pulau berpenghuni. Masyarakat Nias Selatan tersebar di 21 pulau dalam delapan kecamatan.
Komunikasi menggunakan telepon dari dan ke kabupaten ini juga terbatas. Telepon terbilang barang mewah. Sambungan telepon sebanyak 369 hanya terpusat di Teluk Dalam. Itu pun sambungan dari Gunungsitoli. Tidak ada sinyal telepon genggam di kabupaten ini. Bila listrik padam, warung telekomunikasi yang jumlahnya kurang dari jumlah jari kaki dan tangan tidak berfungsi.
Keterbatasan sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi tidak hanya antara kabupaten dan tetangga di sekitarnya. Minimnya sarana itu juga terjadi antarkecamatan dalam kabupaten. Dari 212 desa, sekitar 60 persen tidak terjangkau kendaraan roda empat. Bahkan, tidak juga oleh kendaraan roda dua. Jalan yang menghubungkan Teluk Dalam dengan seluruh ibu kota kecamatan sekitar 80 persen rusak parah. Bila menelusuri daerah ini, tidak jarang terlihat jembatan dalam kondisi rusak. Untuk sampai seberang jembatan, perlu nyali berakrobat di antara papan penopang yang ada.
Sebagai daerah kepulauan, masyarakat bergantung kapal laut untuk berhubungan dengan "dunia luar". Meski jadi andalan, tidak setiap hari ada pelayaran. Iklim wilayah ini dipengaruhi oleh Samudra Hindia. Jika ombak tenang, kapal yang menghubungkan Teluk Dalam dengan Pulau Tello, misalnya, bisa berlayar 2-3 kali seminggu. Biasanya sekitar bulan September sampai November frekuensi pelayaran turun menjadi sekali seminggu. Tidak jarang, bahkan tidak ada pelayaran sama sekali. Pada bulan-bulan itu curah hujan di Nias Selatan sangat tinggi, dibarengi badai besar. Terkadang, badai mulai datang bulan Agustus. Cuaca di Nias Selatan bisa berubah mendadak.
Meski di Pulau Tello terdapat lapangan terbang perintis dengan penerbangan dua kali seminggu, jadwal penerbangan sangat bergantung cuaca. Bukan hal aneh bila penerbangan terpaksa dibatalkan karena kondisi cuaca yang buruk.
Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Nias dengan dialek Nias Selatan, yang berbeda dengan dialek masyarakat di kabupaten induk. Kualitas sumber daya manusia daerah ini minim. Sekitar 65 persen angkatan kerja berpendidikan sekolah dasar. Mayoritas menggeluti pertanian.
Komoditas unggulan sektor ini terutama dari perkebunan, yakni kelapa, karet, dan nilam. Seluruhnya merupakan perkebunan rakyat. Sentra perkebunan kelapa di Kecamatan Teluk Dalam, Lahusa, dan Amandraya. Di Kecamatan Lahusa, Lolomatua, dan Lolowa’u sentra tanaman karet serta nilam.
Hasil pertanian lain yang menjadi unggulan adalah padi dan ikan. Sentra tanaman padi di Kecamatan Teluk Dalam, Lahusa, dan Amandraya. Daerah tangkapan ikan di Kecamatan Pulau-pulau Batu dan Hibala
Komoditas unggulan daerah ini umumnya dijual dalam bentuk apa adanya, belum melalui proses pengolahan. Para pekerja menggarap komoditas andalan secara tradisional. Pada saat panen, hasil perkebunan dan perikanan dikapalkan ke Sibolga. Adapun padi habis dikonsumsi masyarakat. Meskipun penggarapan sumber daya alam pertanian masih dilakukan secara tradisional, sektor ini dan pariwisata menjadi tulang punggung perekonomian.
Di bidang pariwisata, potensi wisata kabupaten terletak pada jalur yang disebut Segitiga Emas Industri Pariwisata Nias Selatan, yakni Kecamatan Lolowa’u-Gomo-Pulau-pulau Batu. Porosnya adalah Omo Hada, rumah tradisional di Desa Bawomataluo, Kecamatan Teluk Dalam.
Berada di Desa Bawomataluo seakan terlempar ke masa silam. Deretan rumah tradisional terbuat dari kayu dengan arsitektur khas Nias itu dihuni sebagai mana layaknya kompleks perumahan. Ukiran batu megalitik menghias di beberapa tempat. Di perkampungan itu bisa juga disaksikan tradisi hombo batu atau lompat batu.
Di Kecamatan Pulau-pulau Batu terdapat lokasi menyelam, terumbu karang, serta ikan- ikan hias dan pantai berpasir putih. Adapun peninggalan zaman megalitik berupa batu-batu megalit di Kecamatan Lahusa dan Gomo. Andalan wisata lainnya adalah Pantai Lagundri yang berpasir putih serta Pantai Sorake yang ombaknya jadi sarana olahraga selancar.
Meski beberapa kali diadakan lomba berselancar tingkat internasional di Pantai Sorake, jangan harap lokasi itu tertata rapi. Sepanjang pantai Lagundri dan Pantai Sorake terdapat penginapan kelas "ampera". Sewa penginapan yang rata-rata berbentuk rumah panggung itu sekitar Rp 20.000 per malam. Terlihat jelas potensi wisata yang dimiliki kabupaten ini belum tergali optimal.
Pada tahun 2002, sekitar 80 persen dari 12.000 wisatawan asing dan domestik yang datang ke Pulau Nias mengunjungi kabupaten ini. Jika pemerintah Nias Selatan serius menggarap potensi pariwisata yang dimiliki, bisa jadi wisatawan yang datang, domestik atau mancanegara, meningkat.
Salah satu upaya pemerintah setempat agar daerah ini mudah dijangkau adalah membangun lapangan terbang. Kemudahan ini diharapkan dapat memacu perekonomian daerah. Ada beberapa pilihan untuk lokasi bandar udara yang membutuhkan lahan seluas 200 hektar itu, yakni Kecamatan Teluk Dalam, Lahusa, dan Amandraya.
BE Julianery/Litbang Kompas
Sumber : http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0404/06/otonomi/951933.htm
NAMUN, untuk langsung ke Teluk Dalam, ibu kota Kabupaten Nias Selatan, perlu usaha ekstra. Transportasi ke daerah ini masih tergolong sulit. Butuh waktu berjam-jam, bahkan bisa menghabiskan satu hari, untuk bisa menginjakkan kaki di kabupaten baru ini.
Nias Selatan sebelumnya adalah bagian Kabupaten Nias. Status otonom diperoleh pada 25 Februari 2003. Kabupaten ini terdiri dari 104 gugusan pulau besar dan kecil. Letak pulau- pulau itu memanjang sejajar Pulau Sumatera. Panjang pulau-pulau itu lebih kurang 60 kilometer, lebar 40 kilometer.
Dari seluruh gugusan pulau itu, ada empat pulau besar, yakni Pulau Tanah Bala (39,67 km2) Pulau Tanah Masa (32,16 km2), Pulau Tello (18 km2), dan Pulau Pini (24,36 km2). Tidak seluruh pulau berpenghuni. Masyarakat Nias Selatan tersebar di 21 pulau dalam delapan kecamatan.
Komunikasi menggunakan telepon dari dan ke kabupaten ini juga terbatas. Telepon terbilang barang mewah. Sambungan telepon sebanyak 369 hanya terpusat di Teluk Dalam. Itu pun sambungan dari Gunungsitoli. Tidak ada sinyal telepon genggam di kabupaten ini. Bila listrik padam, warung telekomunikasi yang jumlahnya kurang dari jumlah jari kaki dan tangan tidak berfungsi.
Keterbatasan sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi tidak hanya antara kabupaten dan tetangga di sekitarnya. Minimnya sarana itu juga terjadi antarkecamatan dalam kabupaten. Dari 212 desa, sekitar 60 persen tidak terjangkau kendaraan roda empat. Bahkan, tidak juga oleh kendaraan roda dua. Jalan yang menghubungkan Teluk Dalam dengan seluruh ibu kota kecamatan sekitar 80 persen rusak parah. Bila menelusuri daerah ini, tidak jarang terlihat jembatan dalam kondisi rusak. Untuk sampai seberang jembatan, perlu nyali berakrobat di antara papan penopang yang ada.
Sebagai daerah kepulauan, masyarakat bergantung kapal laut untuk berhubungan dengan "dunia luar". Meski jadi andalan, tidak setiap hari ada pelayaran. Iklim wilayah ini dipengaruhi oleh Samudra Hindia. Jika ombak tenang, kapal yang menghubungkan Teluk Dalam dengan Pulau Tello, misalnya, bisa berlayar 2-3 kali seminggu. Biasanya sekitar bulan September sampai November frekuensi pelayaran turun menjadi sekali seminggu. Tidak jarang, bahkan tidak ada pelayaran sama sekali. Pada bulan-bulan itu curah hujan di Nias Selatan sangat tinggi, dibarengi badai besar. Terkadang, badai mulai datang bulan Agustus. Cuaca di Nias Selatan bisa berubah mendadak.
Meski di Pulau Tello terdapat lapangan terbang perintis dengan penerbangan dua kali seminggu, jadwal penerbangan sangat bergantung cuaca. Bukan hal aneh bila penerbangan terpaksa dibatalkan karena kondisi cuaca yang buruk.
Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Nias dengan dialek Nias Selatan, yang berbeda dengan dialek masyarakat di kabupaten induk. Kualitas sumber daya manusia daerah ini minim. Sekitar 65 persen angkatan kerja berpendidikan sekolah dasar. Mayoritas menggeluti pertanian.
Komoditas unggulan sektor ini terutama dari perkebunan, yakni kelapa, karet, dan nilam. Seluruhnya merupakan perkebunan rakyat. Sentra perkebunan kelapa di Kecamatan Teluk Dalam, Lahusa, dan Amandraya. Di Kecamatan Lahusa, Lolomatua, dan Lolowa’u sentra tanaman karet serta nilam.
Hasil pertanian lain yang menjadi unggulan adalah padi dan ikan. Sentra tanaman padi di Kecamatan Teluk Dalam, Lahusa, dan Amandraya. Daerah tangkapan ikan di Kecamatan Pulau-pulau Batu dan Hibala
Komoditas unggulan daerah ini umumnya dijual dalam bentuk apa adanya, belum melalui proses pengolahan. Para pekerja menggarap komoditas andalan secara tradisional. Pada saat panen, hasil perkebunan dan perikanan dikapalkan ke Sibolga. Adapun padi habis dikonsumsi masyarakat. Meskipun penggarapan sumber daya alam pertanian masih dilakukan secara tradisional, sektor ini dan pariwisata menjadi tulang punggung perekonomian.
Di bidang pariwisata, potensi wisata kabupaten terletak pada jalur yang disebut Segitiga Emas Industri Pariwisata Nias Selatan, yakni Kecamatan Lolowa’u-Gomo-Pulau-pulau Batu. Porosnya adalah Omo Hada, rumah tradisional di Desa Bawomataluo, Kecamatan Teluk Dalam.
Berada di Desa Bawomataluo seakan terlempar ke masa silam. Deretan rumah tradisional terbuat dari kayu dengan arsitektur khas Nias itu dihuni sebagai mana layaknya kompleks perumahan. Ukiran batu megalitik menghias di beberapa tempat. Di perkampungan itu bisa juga disaksikan tradisi hombo batu atau lompat batu.
Di Kecamatan Pulau-pulau Batu terdapat lokasi menyelam, terumbu karang, serta ikan- ikan hias dan pantai berpasir putih. Adapun peninggalan zaman megalitik berupa batu-batu megalit di Kecamatan Lahusa dan Gomo. Andalan wisata lainnya adalah Pantai Lagundri yang berpasir putih serta Pantai Sorake yang ombaknya jadi sarana olahraga selancar.
Meski beberapa kali diadakan lomba berselancar tingkat internasional di Pantai Sorake, jangan harap lokasi itu tertata rapi. Sepanjang pantai Lagundri dan Pantai Sorake terdapat penginapan kelas "ampera". Sewa penginapan yang rata-rata berbentuk rumah panggung itu sekitar Rp 20.000 per malam. Terlihat jelas potensi wisata yang dimiliki kabupaten ini belum tergali optimal.
Pada tahun 2002, sekitar 80 persen dari 12.000 wisatawan asing dan domestik yang datang ke Pulau Nias mengunjungi kabupaten ini. Jika pemerintah Nias Selatan serius menggarap potensi pariwisata yang dimiliki, bisa jadi wisatawan yang datang, domestik atau mancanegara, meningkat.
Salah satu upaya pemerintah setempat agar daerah ini mudah dijangkau adalah membangun lapangan terbang. Kemudahan ini diharapkan dapat memacu perekonomian daerah. Ada beberapa pilihan untuk lokasi bandar udara yang membutuhkan lahan seluas 200 hektar itu, yakni Kecamatan Teluk Dalam, Lahusa, dan Amandraya.
BE Julianery/Litbang Kompas
Sumber : http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0404/06/otonomi/951933.htm
Jumat, Desember 09, 2005
Dieng
Aku dan teman-teman kantor berniat motoring ke Dieng lewat jalur Pekalongan - Kedungwuni - Kajen - Kalibening - Karangkobar - Dieng.
Kami berempat berangkat dari Pekalongan sekitar jam 1 siang dengan mengendarai 2 motor. Perjalanan baru sekitar 30 km (5 km menjelang Linggo Asri), tiba tiba motor punyaku (Honda GL 100) ngadat platinanya. Untuk menuju bengkel terdekat kami memutuskan turun ke Kajen. Singkat kata motor bisa digunakan lagi bakda sholat ashar.
Kami berempat berangkat dari Pekalongan sekitar jam 1 siang dengan mengendarai 2 motor. Perjalanan baru sekitar 30 km (5 km menjelang Linggo Asri), tiba tiba motor punyaku (Honda GL 100) ngadat platinanya. Untuk menuju bengkel terdekat kami memutuskan turun ke Kajen. Singkat kata motor bisa digunakan lagi bakda sholat ashar.
Kamis, Desember 08, 2005
Berpetualang mendaki Gunung Merapi
Gunung Merapi (2914 meter) hingga saat ini masih dianggap sebagai gunung berapi aktif dan paling berbahaya di Indonesia, namun menawarkan panorama dan atraksi alam yang indah dan menakjubkan. Secara geografis terletak di perbatasan Kabupaten Sleman (DIY), Kabupaten Magelang (Jateng), Kabupaten Boyolali (Jateng) dan Kabupaten Klaten (Jateng). Berjarak 30 Km ke arah utara Kota Yogyakarta, 27 Km ke arah Timur dari Kota Magelang, 20 Km ke arah barat dari Kota Boyolali dan 25 Km ke arah utara dari Kota Klaten.
Bilamana gunung ini menunjukan kedahsyatan erupsinya, masyarakat Yogyakarta dapat menyaksikan gumpalan asapnya yang berwarna putih kelabu atau kehitaman–hitaman mengepul keatas yang dari kejauhan nampak seperti timbunan bulu domba. Akan tetapi bilaman gunung itu dalam keadaan "tenang", pesonanya demikian memukau, sehingga merangsang para remaja yang ingin berpetualang mendaki gunung dan para pecinta olahraga mendaki gunung untuk menaklukan puncaknya.
Mendaki Gunung Merapi merupakan obyek wisata petualangan yang sangat menantang bagi para petualang yang ingin merasakan keindahannya. Untuk berpetualang disana anda dapat melalui beberapa jalur pendakian dari tingkat kesulitan yang tinggi hingga melalui jalur yang mudah, jalur pendakian tersebut antara lain melalui jalur pendakian bebeng (sebelah selatan) dan melalui Selo (sebelah utara).
Bagi yang kurang berminat melakukan pendakian sampai ke puncak masih dapat memuaskan hasrat hatinya untuk mengagumi kedahsyatan yang indah dari gunung Merapi ini, dari daerah Bebeng yang terletak lebih kurang 2 kilometer disebelah tenggara daerah Kaliurang, atau bisa juga melihat dari daerah Turi, lebih kurang 5 km disebelah barat daerah Kaliurang, jika ingin menyaksikan puncak Merapi dari kejauhan secara jelas, dapat digunakan teropong pengamat dari Pos Pengamatan Gunung Merapi di Plawangan.
Untuk mendaki gunung ini kita dapat melalui jalur pendakian yang paling mudah yaitu melalui jalur pendakian selo. Selo adalah sebuah kota kecil yang masuk ke dalam kabupaten Boyolali. Dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat baik dari arah Magelang maupun dari kota Boyolali. Kota ini memiliki kekhasan tersendiri karena udaranya yang sejuk dan dari sini kita dapat melihat dua buah gunung yang mengapit kota ini yaitu gunung Merbabu dan gunung Merapi. Kedua gunung tersebut dapat kita daki melalui kota ini dengan catatan untuk mendaki gunung Merbabu lebih sulit dari Selo karena jaurnya yang terjal, dan berbeda sekali dengan gunung Merapi yang dapat kita tempuh hanya memakan waktu 5–6 jam menuju puncak.
Sebelum mendaki alangkah baiknya anda melaporkan rencanan perjalanan anda ke basecamp pendakian yang letaknya tepat di pinggir jalan. Selain itu di basecamp ini anda dapat menyiapkan segala perlengkapan yang akan dibawa, bila butuh pemandu anda juga dapat menemui banyak sekali pemanda yang siap mengantarkan anda.
3 jam perjalanan kita akan merasakan hutan yang sudah mulai gundul di kawasan ini, dengan jalan tanah bercampur akar–akar pohon, namum keindahan sekelilingnya sudah bisa kita nikmati yaitu sajian kota Boyolali dan kota Magelang dari kejauhan. Setalah itu kita tidak akan menemui pohon yang tinggi dan angin mulai berhembus kencang, anda dapat melihat pemandangan yang sangat menakjubkan yaitu berupa hamparan batu hingga mencapai puncak Garuda. Hamparan batu dikenal dengan pasar Bubrah atau pasarnya lelembut. Untuk mencapai puncak kita dapat menempuh kurang lebih 1 jam melewati batu sediment bekas letusan gunung tersebut. Puncak Gunung merapi pada ketinggian 2914 Mdpl dengan pesona kawah yang masih aktif dan disana pula anda dapat melihat dan naik ke atas puncak garuda, tanah tertinggi di yogjakarta. Selamat berpetualang. (yanwk/gappala.or.id/milispendaki)
Yanweka
diambil dari : http://www.kompas.co.id/jalanjalan/news/0505/27/100522.htm
Demi Elang Jawa atau Masyarakat Sunda?
SETELAH penolakan bertubi-tubi menghadang penetapan Taman Nasional Gunung Merapi dan Gunung Merbabu di Jawa Tengah, kini penolakan juga bermunculan dan semakin menghangat berkenaan dengan ditetapkannya Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional di Jawa Barat. Penolakan itu lebih mengedepankan kepentingan masyarakat etnis Sunda, yang tinggal di sekitar gunung tersebut, daripada usaha pelestarian burung dan binatang yang melata di dalamnya.
DENGAN Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 424/Menhut- II/2004, pemerintah pusat melalui Menteri Kehutanan terdahulu, M Prakosa, menetapkan Gunung Ciremei sebagai Taman Nasional. SK Menhut tersebut praktis mentransformasi Kawasan Hutan Lindung Gunung Ciremai Menjadi Taman Nasional.
Sebelumnya, berdasarkan keanekaragaman hayati, kawasan wisata, dan daerah resapan air (water catchment area), Menhut menerbitkan SK Menhut Nomor 419/Kpts-II/1999 Tentang Penetapan Kawasan Ciremai menjadi Kawasan Lindung. SK Menhut disambut pula oleh SK Gubernur Jawa Barat Nomor 552/1224/Binprod tentang Perlindungan dan Pengamanan Hutan di Jabar, dengan salah satu poin Pelarangan Tumpang Sari di kawasan Lindung, dan penanaman di kemiringan tertentu.
Gunung Ciremai merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat yakni 3.078 meter di atas permukaan laut, dengan luas 15.518,23 hektar. Gunung ini terletak di dua kabupaten, yakni Kabupaten Kuningan seluas 8.205,38 hektar dan Kabupaten Majalengka 7.308,95 hektar.
Dari sisi keanekaragaman hayati, Gunung Ciremai dikenal sebagai habitat elang Jawa (Spozaetus bartelsii), macan kumbang, lutung, harimau, dan bunga Edelweiss.
MATA air Cipaniis, Apuy, Desa Jambu, Gunung Sirah, dan Ciinjuk, juga dikenal luas sebagai pemasok air kawasan Kuningan, Majalengka, Kabupaten Cirebon, dan Kota Cirebon.
Ketua Kelompok Kerja Ciremai, Avo Juhartono, menyatakan bahwa penetapan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) hanya didasari pada keberadaan segelintir elang Jawa. Padahal, seharusnya ada penelitian lebih mendalam.
"Kami kecewa karena pemerintah menetapkan TNGC, tanpa mengindahkan proses pembicaraan yang sedang berlangsung. Penetapan dengan ketergesaan ini harus diulangi sehingga masyarakat tidak dirugikan dengan TNGC," kata Avo Juhartono.
Tanggal 8 Oktober 2004 bertempat di Departemen Kehutanan dilakukan ekspose usulan TNGC oleh Pemkab Kuningan diwakili Asisten Daerah (Asda) I dan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan serta wakil akademisi dari Universitas Kuningan. Dalam pertemuan ini, Avo juga ikut hadir.
Avo menuding Surat Bupati Kuningan Nomor 522/1480/ Dishutbun tertanggal 26 Juli 2004, Surat Bupati Majalengka Nomor 522/2354/Hutbun tertanggal 1 September 2004, dan Surat DPRD Kabupaten Kuningan Nomor 061/226/DPRD tertanggal 1 September 2004, yang memengaruhi pemerintah pusat (Dephut) dalam penetapan TNGC.
Padahal, surat tersebut belum tentu aspiratif. Dengan ketergesaan ini, Avo Juhartono mempertanyakan kedalaman proses pengambilan data hingga pelibatan peran serta warga.
"Pemerintah harus menanyai langsung aspirasi rakyat, dan hal ini dapat dilakukan dengan pembentukan tim khusus. Harus dijelaskan wacana TN dan konsekuensi yang diterima warga," kata Avo. Berdasarkan data LSM Aktivis Anak Rimba (Akar), di wilayah Kuningan terdapat 24 desa yang berada di lereng Ciremai, sedangkan di kawasan Majalengka terdapat 23 desa. Dia mengkhawatirkan kecilnya akses masyarakat untuk dapat bertani di kaki Ciremai.
PAGUYUBAN Masyarakat Tani Hutan (PMTH) Kabupaten Kuningan menyatakan diri menolak penetapan TNGC, yang dibuat tanpa partisipasi masyarakat. Mereka mempertanyakan komponen masyarakat yang telah ditanyai pemerintah daerah berkenaan dengan pembentukan TN.
"Pemkab Kuningan menyatakan telah meminta aspirasi masyarakat. Masyarakat yang mana? Kami ini yang bermukim tepat di lereng Ciremai, bahkan tidak pernah merasa ditanyai pemerintah. Apakah Bupati hanya menanyai kepala desa? Benarkah jawaban mereka, sungguh-sungguh sesuai dengan aspirasi kami?," ujar seorang warga Dusun Palutungan, Desa Cisantana, Cigugur, Kabupaten Kuningan.
Menanggapi hal itu, Bupati Kuningan Aang Hamid Suganda mengatakan, akselerasi proses penetapan TNGC keluar dari keprihatinannya menyaksikan proses perusakan di Gunung Ciremai. "Saya tiap bulan mendaki lereng Ciremai, dan selalu menyaksikan proses penggundulan baru. Maka, dengan visi mempertahankan Gunung Ciremai, diambil langkah pembentukan TNGC," kata dia, saat dijumpai Kompas di rumah dinas Bupati Kuningan, akhir bulan November lalu.
"Sebagai orang yang besar di Bogor di kaki Gunung Salak, saya terbiasa ’dekat’ dengan hutan. Dan, kerusakan hutan di beberapa titik di Gunung Ciremai sangat memprihatinkan. Sementara Perhutani-dengan status profit-nya-saya duga tidak mampu berbuat banyak untuk mereboisasi Ciremai," ujar Aang Hamid.
Aang Hamid menjelaskan dengan status TN, maka pemerintah pusat diharapkan mulai tahun depan dapat melakukan tindakan penyelamatan Gunung Ciremai.
Dia pun tidak menafikan adanya kekhawatiran tertutupnya akses memasuki Gunung Ciremai. Namun, Bupati Kuningan berjanji untuk memperjuangkan masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Ciremai agar bisa tetap mendapatkan penghidupan dari sekitar gunung tersebut.
Jadi, pemerintah diminta tidak hanya memikirkan nasib elang Jawa.... (HARYO DAMARDONO)
Kompas 2003
Hasim GR
Ada orang namanya Hasim mau pergi ke pasar dengan mengendarai sepeda motor.di tengah perjalanan ada polisi maka terjadilah percakapan.
Pak Polisi ; Mana SIM ?
Hasim : Mau ke pasar pak. Wah bapak sendiri lagi tugas yah.........?? (kata hasim gembira karena ternyata polisi itu mengenal namanya)
Pak Polisi : SIM kamu mana? (polisi sambil melototkan matanya)
Hasim : Ya pak ..........(dengan nada ketakutan hasim mengeluarkan SIM)
Pak Polisi :............???
Dikirim oleh : Risma
Pak Polisi ; Mana SIM ?
Hasim : Mau ke pasar pak. Wah bapak sendiri lagi tugas yah.........?? (kata hasim gembira karena ternyata polisi itu mengenal namanya)
Pak Polisi : SIM kamu mana? (polisi sambil melototkan matanya)
Hasim : Ya pak ..........(dengan nada ketakutan hasim mengeluarkan SIM)
Pak Polisi :............???
Dikirim oleh : Risma
Lagi, Keprihatinan tentang Trunyan
Membaca tulisan pada surat pembaca Bali Post, Minggu, 24 April 2005 yang dikirimkan oleh Saudara I Wayan Aksara dari Banjar Kutri, Buruan, Gianyar, saya menjadi tergelitik untuk ikut menyampaikan pengalaman saya. Beberapa waktu lalu saya beserta beberapa teman yang semuanya orang Bali bermaksud berekreasi ke Desa Trunyan yang telah lama tak dikunjungi.
Begitu tiba di dermaga penyeberangan kami harus menghabiskan banyak waktu untuk bernegosiasi dengan pengemudi perahu boat untuk mendapatkan harga yang menurut kami pantas. Hal ini tidak begitu kami hiraukan karena kami anggap masih wajar-wajar saja.
Tiba di Desa Trunyan kami langsung disambut dan dikerumuni oleh beberapa laki-laki usia produktif, dan langsung menengadahkan tangan minta uang. Bermacam cara dilakukan mereka, ada yang hanya mengatakan ''Pak nunas jinahe'', ada yang hanya menggunakan isyarat untuk meminta uang pada kami, ada pula yang mengatakan, ''Pak, berilah sedikit uang untuk kami bisa membeli minuman di warung.'' Pikir saya, ternyata telah begini parahnya kondisi di objek wisata Desa Trunyan. Apakah hal yang sama juga mereka lakukan terhadap wisatawan? Bagaimana jadinya kenyamanan wisatawan yang datang untuk menikmati kedamaian di Desa Bali Aga yang masih kuat memegang adat masa lalu?
Sesampainya di kuburan desa, penghadangan yang sama juga terjadi dan kami hanya diam tak menghiraukan mereka. Sampai di depan deretan kuburan jenazah, kami melihat banyak uang yang berserakan di tanah termasuk uang pecahan lima puluh ribu rupiah. Seorang laki-laki mengatakan pada kami untuk memberi sedekah dan menaruhnya di atas tanah, dan ia mengatakan bahwa telah banyak orang yang bersedekah. Tetapi teman saya memberitahu agar jangan dituruti karena uang yang banyak itu hanya akal-akalan orang tadi.
Setelah rekreasi berakhir dalam perjalanan pulang, perahu boat kami juga dihadang oleh beberapa orang berperahu sampan berdayung yang juga melakukan hal yang sama, yaitu menengadahkan tangan dengan maksud meminta uang. Teman saya hanya memberi pada seorang yang kelihatannya sudah tua, karena kasihan.
Dari pengalaman tersebut saya sama sekali tidak mendapat kenangan apa pun dari Desa Trunyan, apalagi tentang keindahan masa Bali Kuna yang hendak saya nikmati, selain tangan-tangan menengadah untuk meminta uang. Saya sangat prihatin, apalagi tangan-tangan itu masih cukup kuat untuk bekerja. Akhirnya pengalaman unik ini berakhir di dermaga dengan tangan menengadah yang terakhir, yaitu tangan si tukang perahu sendiri yang kelihatannya juga orang Trunyan, meminta tambahan uang, padahal kami telah membayarnya.
Akankah hal ini kita "jual" juga kepada wisatawan, yang ingin menikmati keunikan kehidupan Bali Aga?
I Ketut Muliarta, A.Md
Br. Batannyuh, Desa Batannyuh
Kec. Marga, Tabanan
Begitu tiba di dermaga penyeberangan kami harus menghabiskan banyak waktu untuk bernegosiasi dengan pengemudi perahu boat untuk mendapatkan harga yang menurut kami pantas. Hal ini tidak begitu kami hiraukan karena kami anggap masih wajar-wajar saja.
Tiba di Desa Trunyan kami langsung disambut dan dikerumuni oleh beberapa laki-laki usia produktif, dan langsung menengadahkan tangan minta uang. Bermacam cara dilakukan mereka, ada yang hanya mengatakan ''Pak nunas jinahe'', ada yang hanya menggunakan isyarat untuk meminta uang pada kami, ada pula yang mengatakan, ''Pak, berilah sedikit uang untuk kami bisa membeli minuman di warung.'' Pikir saya, ternyata telah begini parahnya kondisi di objek wisata Desa Trunyan. Apakah hal yang sama juga mereka lakukan terhadap wisatawan? Bagaimana jadinya kenyamanan wisatawan yang datang untuk menikmati kedamaian di Desa Bali Aga yang masih kuat memegang adat masa lalu?
Sesampainya di kuburan desa, penghadangan yang sama juga terjadi dan kami hanya diam tak menghiraukan mereka. Sampai di depan deretan kuburan jenazah, kami melihat banyak uang yang berserakan di tanah termasuk uang pecahan lima puluh ribu rupiah. Seorang laki-laki mengatakan pada kami untuk memberi sedekah dan menaruhnya di atas tanah, dan ia mengatakan bahwa telah banyak orang yang bersedekah. Tetapi teman saya memberitahu agar jangan dituruti karena uang yang banyak itu hanya akal-akalan orang tadi.
Setelah rekreasi berakhir dalam perjalanan pulang, perahu boat kami juga dihadang oleh beberapa orang berperahu sampan berdayung yang juga melakukan hal yang sama, yaitu menengadahkan tangan dengan maksud meminta uang. Teman saya hanya memberi pada seorang yang kelihatannya sudah tua, karena kasihan.
Dari pengalaman tersebut saya sama sekali tidak mendapat kenangan apa pun dari Desa Trunyan, apalagi tentang keindahan masa Bali Kuna yang hendak saya nikmati, selain tangan-tangan menengadah untuk meminta uang. Saya sangat prihatin, apalagi tangan-tangan itu masih cukup kuat untuk bekerja. Akhirnya pengalaman unik ini berakhir di dermaga dengan tangan menengadah yang terakhir, yaitu tangan si tukang perahu sendiri yang kelihatannya juga orang Trunyan, meminta tambahan uang, padahal kami telah membayarnya.
Akankah hal ini kita "jual" juga kepada wisatawan, yang ingin menikmati keunikan kehidupan Bali Aga?
I Ketut Muliarta, A.Md
Br. Batannyuh, Desa Batannyuh
Kec. Marga, Tabanan
Rabu, Desember 07, 2005
Ujian Off Line Tidak Dapat ditawar Lagi
Ujian OffLine dengan menggunakan jaringan sudah tidak dapat ditawar lagi. Banyak keuntungan dengan ujian model ini. Ada software yang dapat kita peroleh dengan gratis di internet, diantaranya adalah PHPTest yang menggunakan bahasa PHP dengan database MySQL. Tampilan ujian dalam bentuk web. Maka diperlukan sebuah PC sebagai server local.
Mengapa Ujian model demikian begitu mendesak ? Tentu saja dapat menghemat waktu bagi seorang guru, selain itu seluruh aktivitas yang berkaitan dengan ujian ini akan senantiasa tersimpan dalam database.
Setiap peserta ujian akan mendapatkan naskah ujian yang diterima secara random.
Mengapa Ujian model demikian begitu mendesak ? Tentu saja dapat menghemat waktu bagi seorang guru, selain itu seluruh aktivitas yang berkaitan dengan ujian ini akan senantiasa tersimpan dalam database.
Setiap peserta ujian akan mendapatkan naskah ujian yang diterima secara random.
Langganan:
Postingan (Atom)
Try Out UN | Matematika | SD
Naskah Try Out UN untuk SD berikut ini sudah saya ujicobakan pada anakku menjelang UN 2011 : Try Out #1 - Matematika SD Try Out #2 - Matemat...
-
Membaca tulisan pada surat pembaca Bali Post, Minggu, 24 April 2005 yang dikirimkan oleh Saudara I Wayan Aksara dari Banjar Kutri, Buruan, G...
-
SETELAH penolakan bertubi-tubi menghadang penetapan Taman Nasional Gunung Merapi dan Gunung Merbabu di Jawa Tengah, kini penolakan juga berm...
-
Gunung Merapi (2914 meter) hingga saat ini masih dianggap sebagai gunung berapi aktif dan paling berbahaya di Indonesia, namun menawarkan pa...