Jumat, Desember 09, 2005

Dieng

Aku dan teman-teman kantor berniat motoring ke Dieng lewat jalur Pekalongan - Kedungwuni - Kajen - Kalibening - Karangkobar - Dieng.

Kami berempat berangkat dari Pekalongan sekitar jam 1 siang dengan mengendarai 2 motor. Perjalanan baru sekitar 30 km (5 km menjelang Linggo Asri), tiba tiba motor punyaku (Honda GL 100) ngadat platinanya. Untuk menuju bengkel terdekat kami memutuskan turun ke Kajen. Singkat kata motor bisa digunakan lagi bakda sholat ashar.

Kamis, Desember 08, 2005

Berpetualang mendaki Gunung Merapi


Gunung Merapi (2914 meter) hingga saat ini masih dianggap sebagai gunung berapi aktif dan paling berbahaya di Indonesia, namun menawarkan panorama dan atraksi alam yang indah dan menakjubkan. Secara geografis terletak di perbatasan Kabupaten Sleman (DIY), Kabupaten Magelang (Jateng), Kabupaten Boyolali (Jateng) dan Kabupaten Klaten (Jateng). Berjarak 30 Km ke arah utara Kota Yogyakarta, 27 Km ke arah Timur dari Kota Magelang, 20 Km ke arah barat dari Kota Boyolali dan 25 Km ke arah utara dari Kota Klaten.

Bilamana gunung ini menunjukan kedahsyatan erupsinya, masyarakat Yogyakarta dapat menyaksikan gumpalan asapnya yang berwarna putih kelabu atau kehitaman–hitaman mengepul keatas yang dari kejauhan nampak seperti timbunan bulu domba. Akan tetapi bilaman gunung itu dalam keadaan "tenang", pesonanya demikian memukau, sehingga merangsang para remaja yang ingin berpetualang mendaki gunung dan para pecinta olahraga mendaki gunung untuk menaklukan puncaknya.

Mendaki Gunung Merapi merupakan obyek wisata petualangan yang sangat menantang bagi para petualang yang ingin merasakan keindahannya. Untuk berpetualang disana anda dapat melalui beberapa jalur pendakian dari tingkat kesulitan yang tinggi hingga melalui jalur yang mudah, jalur pendakian tersebut antara lain melalui jalur pendakian bebeng (sebelah selatan) dan melalui Selo (sebelah utara).

Bagi yang kurang berminat melakukan pendakian sampai ke puncak masih dapat memuaskan hasrat hatinya untuk mengagumi kedahsyatan yang indah dari gunung Merapi ini, dari daerah Bebeng yang terletak lebih kurang 2 kilometer disebelah tenggara daerah Kaliurang, atau bisa juga melihat dari daerah Turi, lebih kurang 5 km disebelah barat daerah Kaliurang, jika ingin menyaksikan puncak Merapi dari kejauhan secara jelas, dapat digunakan teropong pengamat dari Pos Pengamatan Gunung Merapi di Plawangan.


Untuk mendaki gunung ini kita dapat melalui jalur pendakian yang paling mudah yaitu melalui jalur pendakian selo. Selo adalah sebuah kota kecil yang masuk ke dalam kabupaten Boyolali. Dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat baik dari arah Magelang maupun dari kota Boyolali. Kota ini memiliki kekhasan tersendiri karena udaranya yang sejuk dan dari sini kita dapat melihat dua buah gunung yang mengapit kota ini yaitu gunung Merbabu dan gunung Merapi. Kedua gunung tersebut dapat kita daki melalui kota ini dengan catatan untuk mendaki gunung Merbabu lebih sulit dari Selo karena jaurnya yang terjal, dan berbeda sekali dengan gunung Merapi yang dapat kita tempuh hanya memakan waktu 5–6 jam menuju puncak.

Sebelum mendaki alangkah baiknya anda melaporkan rencanan perjalanan anda ke basecamp pendakian yang letaknya tepat di pinggir jalan. Selain itu di basecamp ini anda dapat menyiapkan segala perlengkapan yang akan dibawa, bila butuh pemandu anda juga dapat menemui banyak sekali pemanda yang siap mengantarkan anda.

3 jam perjalanan kita akan merasakan hutan yang sudah mulai gundul di kawasan ini, dengan jalan tanah bercampur akar–akar pohon, namum keindahan sekelilingnya sudah bisa kita nikmati yaitu sajian kota Boyolali dan kota Magelang dari kejauhan. Setalah itu kita tidak akan menemui pohon yang tinggi dan angin mulai berhembus kencang, anda dapat melihat pemandangan yang sangat menakjubkan yaitu berupa hamparan batu hingga mencapai puncak Garuda. Hamparan batu dikenal dengan pasar Bubrah atau pasarnya lelembut. Untuk mencapai puncak kita dapat menempuh kurang lebih 1 jam melewati batu sediment bekas letusan gunung tersebut. Puncak Gunung merapi pada ketinggian 2914 Mdpl dengan pesona kawah yang masih aktif dan disana pula anda dapat melihat dan naik ke atas puncak garuda, tanah tertinggi di yogjakarta. Selamat berpetualang. (yanwk/gappala.or.id/milispendaki)

Yanweka

diambil dari : http://www.kompas.co.id/jalanjalan/news/0505/27/100522.htm

Demi Elang Jawa atau Masyarakat Sunda?


SETELAH penolakan bertubi-tubi menghadang penetapan Taman Nasional Gunung Merapi dan Gunung Merbabu di Jawa Tengah, kini penolakan juga bermunculan dan semakin menghangat berkenaan dengan ditetapkannya Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional di Jawa Barat. Penolakan itu lebih mengedepankan kepentingan masyarakat etnis Sunda, yang tinggal di sekitar gunung tersebut, daripada usaha pelestarian burung dan binatang yang melata di dalamnya.

DENGAN Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 424/Menhut- II/2004, pemerintah pusat melalui Menteri Kehutanan terdahulu, M Prakosa, menetapkan Gunung Ciremei sebagai Taman Nasional. SK Menhut tersebut praktis mentransformasi Kawasan Hutan Lindung Gunung Ciremai Menjadi Taman Nasional.

Sebelumnya, berdasarkan keanekaragaman hayati, kawasan wisata, dan daerah resapan air (water catchment area), Menhut menerbitkan SK Menhut Nomor 419/Kpts-II/1999 Tentang Penetapan Kawasan Ciremai menjadi Kawasan Lindung. SK Menhut disambut pula oleh SK Gubernur Jawa Barat Nomor 552/1224/Binprod tentang Perlindungan dan Pengamanan Hutan di Jabar, dengan salah satu poin Pelarangan Tumpang Sari di kawasan Lindung, dan penanaman di kemiringan tertentu.

Gunung Ciremai merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat yakni 3.078 meter di atas permukaan laut, dengan luas 15.518,23 hektar. Gunung ini terletak di dua kabupaten, yakni Kabupaten Kuningan seluas 8.205,38 hektar dan Kabupaten Majalengka 7.308,95 hektar.

Dari sisi keanekaragaman hayati, Gunung Ciremai dikenal sebagai habitat elang Jawa (Spozaetus bartelsii), macan kumbang, lutung, harimau, dan bunga Edelweiss.

MATA air Cipaniis, Apuy, Desa Jambu, Gunung Sirah, dan Ciinjuk, juga dikenal luas sebagai pemasok air kawasan Kuningan, Majalengka, Kabupaten Cirebon, dan Kota Cirebon.

Ketua Kelompok Kerja Ciremai, Avo Juhartono, menyatakan bahwa penetapan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) hanya didasari pada keberadaan segelintir elang Jawa. Padahal, seharusnya ada penelitian lebih mendalam.

"Kami kecewa karena pemerintah menetapkan TNGC, tanpa mengindahkan proses pembicaraan yang sedang berlangsung. Penetapan dengan ketergesaan ini harus diulangi sehingga masyarakat tidak dirugikan dengan TNGC," kata Avo Juhartono.

Tanggal 8 Oktober 2004 bertempat di Departemen Kehutanan dilakukan ekspose usulan TNGC oleh Pemkab Kuningan diwakili Asisten Daerah (Asda) I dan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan serta wakil akademisi dari Universitas Kuningan. Dalam pertemuan ini, Avo juga ikut hadir.

Avo menuding Surat Bupati Kuningan Nomor 522/1480/ Dishutbun tertanggal 26 Juli 2004, Surat Bupati Majalengka Nomor 522/2354/Hutbun tertanggal 1 September 2004, dan Surat DPRD Kabupaten Kuningan Nomor 061/226/DPRD tertanggal 1 September 2004, yang memengaruhi pemerintah pusat (Dephut) dalam penetapan TNGC.

Padahal, surat tersebut belum tentu aspiratif. Dengan ketergesaan ini, Avo Juhartono mempertanyakan kedalaman proses pengambilan data hingga pelibatan peran serta warga.

"Pemerintah harus menanyai langsung aspirasi rakyat, dan hal ini dapat dilakukan dengan pembentukan tim khusus. Harus dijelaskan wacana TN dan konsekuensi yang diterima warga," kata Avo. Berdasarkan data LSM Aktivis Anak Rimba (Akar), di wilayah Kuningan terdapat 24 desa yang berada di lereng Ciremai, sedangkan di kawasan Majalengka terdapat 23 desa. Dia mengkhawatirkan kecilnya akses masyarakat untuk dapat bertani di kaki Ciremai.

PAGUYUBAN Masyarakat Tani Hutan (PMTH) Kabupaten Kuningan menyatakan diri menolak penetapan TNGC, yang dibuat tanpa partisipasi masyarakat. Mereka mempertanyakan komponen masyarakat yang telah ditanyai pemerintah daerah berkenaan dengan pembentukan TN.

"Pemkab Kuningan menyatakan telah meminta aspirasi masyarakat. Masyarakat yang mana? Kami ini yang bermukim tepat di lereng Ciremai, bahkan tidak pernah merasa ditanyai pemerintah. Apakah Bupati hanya menanyai kepala desa? Benarkah jawaban mereka, sungguh-sungguh sesuai dengan aspirasi kami?," ujar seorang warga Dusun Palutungan, Desa Cisantana, Cigugur, Kabupaten Kuningan.

Menanggapi hal itu, Bupati Kuningan Aang Hamid Suganda mengatakan, akselerasi proses penetapan TNGC keluar dari keprihatinannya menyaksikan proses perusakan di Gunung Ciremai. "Saya tiap bulan mendaki lereng Ciremai, dan selalu menyaksikan proses penggundulan baru. Maka, dengan visi mempertahankan Gunung Ciremai, diambil langkah pembentukan TNGC," kata dia, saat dijumpai Kompas di rumah dinas Bupati Kuningan, akhir bulan November lalu.

"Sebagai orang yang besar di Bogor di kaki Gunung Salak, saya terbiasa ’dekat’ dengan hutan. Dan, kerusakan hutan di beberapa titik di Gunung Ciremai sangat memprihatinkan. Sementara Perhutani-dengan status profit-nya-saya duga tidak mampu berbuat banyak untuk mereboisasi Ciremai," ujar Aang Hamid.

Aang Hamid menjelaskan dengan status TN, maka pemerintah pusat diharapkan mulai tahun depan dapat melakukan tindakan penyelamatan Gunung Ciremai.

Dia pun tidak menafikan adanya kekhawatiran tertutupnya akses memasuki Gunung Ciremai. Namun, Bupati Kuningan berjanji untuk memperjuangkan masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Ciremai agar bisa tetap mendapatkan penghidupan dari sekitar gunung tersebut.

Jadi, pemerintah diminta tidak hanya memikirkan nasib elang Jawa.... (HARYO DAMARDONO)

Kompas 2003

Hasim GR

Ada orang namanya Hasim mau pergi ke pasar dengan mengendarai sepeda motor.di tengah perjalanan ada polisi maka terjadilah percakapan.

Pak Polisi ; Mana SIM ?
Hasim : Mau ke pasar pak. Wah bapak sendiri lagi tugas yah.........?? (kata hasim gembira karena ternyata polisi itu mengenal namanya)

Pak Polisi : SIM kamu mana? (polisi sambil melototkan matanya)
Hasim : Ya pak ..........(dengan nada ketakutan hasim mengeluarkan SIM)
Pak Polisi :............???
Dikirim oleh : Risma

Lagi, Keprihatinan tentang Trunyan

Membaca tulisan pada surat pembaca Bali Post, Minggu, 24 April 2005 yang dikirimkan oleh Saudara I Wayan Aksara dari Banjar Kutri, Buruan, Gianyar, saya menjadi tergelitik untuk ikut menyampaikan pengalaman saya. Beberapa waktu lalu saya beserta beberapa teman yang semuanya orang Bali bermaksud berekreasi ke Desa Trunyan yang telah lama tak dikunjungi.

Begitu tiba di dermaga penyeberangan kami harus menghabiskan banyak waktu untuk bernegosiasi dengan pengemudi perahu boat untuk mendapatkan harga yang menurut kami pantas. Hal ini tidak begitu kami hiraukan karena kami anggap masih wajar-wajar saja.

Tiba di Desa Trunyan kami langsung disambut dan dikerumuni oleh beberapa laki-laki usia produktif, dan langsung menengadahkan tangan minta uang. Bermacam cara dilakukan mereka, ada yang hanya mengatakan ''Pak nunas jinahe'', ada yang hanya menggunakan isyarat untuk meminta uang pada kami, ada pula yang mengatakan, ''Pak, berilah sedikit uang untuk kami bisa membeli minuman di warung.'' Pikir saya, ternyata telah begini parahnya kondisi di objek wisata Desa Trunyan. Apakah hal yang sama juga mereka lakukan terhadap wisatawan? Bagaimana jadinya kenyamanan wisatawan yang datang untuk menikmati kedamaian di Desa Bali Aga yang masih kuat memegang adat masa lalu?

Sesampainya di kuburan desa, penghadangan yang sama juga terjadi dan kami hanya diam tak menghiraukan mereka. Sampai di depan deretan kuburan jenazah, kami melihat banyak uang yang berserakan di tanah termasuk uang pecahan lima puluh ribu rupiah. Seorang laki-laki mengatakan pada kami untuk memberi sedekah dan menaruhnya di atas tanah, dan ia mengatakan bahwa telah banyak orang yang bersedekah. Tetapi teman saya memberitahu agar jangan dituruti karena uang yang banyak itu hanya akal-akalan orang tadi.

Setelah rekreasi berakhir dalam perjalanan pulang, perahu boat kami juga dihadang oleh beberapa orang berperahu sampan berdayung yang juga melakukan hal yang sama, yaitu menengadahkan tangan dengan maksud meminta uang. Teman saya hanya memberi pada seorang yang kelihatannya sudah tua, karena kasihan.

Dari pengalaman tersebut saya sama sekali tidak mendapat kenangan apa pun dari Desa Trunyan, apalagi tentang keindahan masa Bali Kuna yang hendak saya nikmati, selain tangan-tangan menengadah untuk meminta uang. Saya sangat prihatin, apalagi tangan-tangan itu masih cukup kuat untuk bekerja. Akhirnya pengalaman unik ini berakhir di dermaga dengan tangan menengadah yang terakhir, yaitu tangan si tukang perahu sendiri yang kelihatannya juga orang Trunyan, meminta tambahan uang, padahal kami telah membayarnya.

Akankah hal ini kita "jual" juga kepada wisatawan, yang ingin menikmati keunikan kehidupan Bali Aga?



I Ketut Muliarta, A.Md
Br. Batannyuh, Desa Batannyuh
Kec. Marga, Tabanan

Rabu, Desember 07, 2005

Ujian Off Line Tidak Dapat ditawar Lagi

Ujian OffLine dengan menggunakan jaringan sudah tidak dapat ditawar lagi. Banyak keuntungan dengan ujian model ini. Ada software yang dapat kita peroleh dengan gratis di internet, diantaranya adalah PHPTest yang menggunakan bahasa PHP dengan database MySQL. Tampilan ujian dalam bentuk web. Maka diperlukan sebuah PC sebagai server local.
Mengapa Ujian model demikian begitu mendesak ? Tentu saja dapat menghemat waktu bagi seorang guru, selain itu seluruh aktivitas yang berkaitan dengan ujian ini akan senantiasa tersimpan dalam database.
Setiap peserta ujian akan mendapatkan naskah ujian yang diterima secara random.

Kamis, Desember 01, 2005

Menjual Wisata Budaya Orang Kanekes

LEBAK – Banten tak pernah kehabisan cerita. Provinsi yang baru di bagian barat tanah Jawa ini punya segudang potensi pariwisata. Dari petualangan alam yang menantang, panorama yang mengundang decak kagum sampai keunikan budaya masyarakatnya. Tentu saja, semua itu bila digarap serius bisa jadi nilai tambah bagi perekonomian penduduk.

Provinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat-tradisi yaitu Suku Badui. Mereka di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Perkampungan masyarakat Badui pada umumnya terletak pada daerah aliran sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng, Banten Selatan. Letaknya sekitar 172 km sebelah barat ibukota Jakarta; sekitar 65 km sebelah selatan ibu kota Provinsi Banten.
Pinda Octariano, tour officer Saptawira Adhitama Tours & Travel cuma bisa geleng-geleng kepala ketika mengunjungi masyarakat Badui beberapa waktu lalu. Bukan apa-apa, ia begitu kagum dengan kehidupan tradisional ini.
Bagi pemuda berkacamata ini, yang terbiasa hidup di kota metropolis – Jakarta, kehidupan yang sederhana itu terasa begitu primitif. “Bayangin, di sana nggak ada listrik dan pompa air. Kalo malam jadinya gelap gulita. Kebetulan karena kita datang, mereka baru nyalakan lampu templok.”
Berbicara dalam gelap buat mereka sudah biasa. Tapi buat Pinda dan kawan-kawannya itu adalah sesuatu yang ganjil. Maklum, di rumah mereka terbiasa dengan penerangan yang terang-benderang.
Keheranan mereka tak sampai di situ. Waktu mau mandi, mereka terlihat begitu rikuh. Pasalnya, nggak biasa mandi kali. Shower yang ada bukan terbuat dari bahan logam, tetapi dari belahan batang bambu yang diselipkan pada aliran air. Soal mutu airnya, tak perlu ragu lagi. Cuma karena nggak biasa Pinda akhirnya batal mandi pagi.
Acara jalan-jalan santai ini sebetulnya merupakan ajakan dari Semeru Indah Wisata. Ini rekanan dari Saptawira Adhitama Tours & Travel. Mereka mengajak Pinda dan Vita Justicia untuk mencicipi paket pelesiran yang baru, Weekend to Badui Village. Nantinya, paket dua hari satu malam ini akan “menembak” pasar wisatawan lokal dan mancanegara.
Perkampungan Badui sebetulnya sudah terkenal dari sejak dulu. Tak jelas kapan pastinya, kehidupan masyarakat bersahaja ini mulai dijual sebagai wisata budaya dan petualangan. Kata Pinda, Badui kebanyakan dijelajahi oleh para penggemar petualangan. “Kalau perusahaan travel rasanya baru pertama kali yang kemarin itu deh.”

Vita Justicia ikut menimpali, “Kami mau coba jajaki paket (Badui) ini untuk dijual kepada mahasiswa dan anak-anak sekolah. Paling nggak ada tiga sampai empat orang saja sudah kita berangkatkan.” Dari situ, pelan-pelan mereka akan membidik pasar buat orang-orang yang suka petualangan.
Cerita soal Badui memang menarik diikuti. Konon, para ilmuwan, masyarakat Indonesia dan internasional yang menamakan kelompok penghuni di kawasan pegunungan Kendeng, Banten Selatan itu sebagai orang Badui. Kata Badui itu sendiri datang dari sebuah bukit “gunung Badui” dan mata air CiBadui di selatan Kampung Kerdu Ketug, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar.
Orang Badui sendiri menamakan kelompok mereka dengan sebutan Orang Kanekes. Nama Kanekes berasal dari sungai Cikanekes yang mengalir di daerah itu.
Ada dua kelompok penduduk di kawasan seluas sekitar 5.102 ha di Kabupaten Lebak itu. Yang terbesar, sekitar 7.000 jiwa. Kelompok ini disebut Urang Panamping (Orang Panamping, sebutan untuk Badui Luar). Mereka tinggal di bagian utara wilayah tadi. Masyarakat ini menempati 28 kampung yang punya delapan anak kampung (babakan). Di bagian selatan, terdapat hunian orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai Urang Tangtu (Badui Dalam).
Pada tahun 2000, kelompok yang mendiami tiga buah kampung itu (Cikeusik, Cikartawana dan Cibeo) populasinya mendekati 800 jiwa. Orang Tangtu menyebut saudara-saudara mereka di bagian utara (yang ciri khas ikat kepalanya bercorak batik warna biru tua) dengan Urang Kaluaran (orang yang dikeluarkan). Orang Kaluaran memanggil saudara mereka di bagian selatan sebagai Urang Girang.

Etos kerja orang Badui
Orang Badui atau Urang Rawayan adalah sekelompok komunitas Sunda yang kebudayaannya dianggap kebudayaan minoritas (culture minority), sebab mereka dianggap oleh orang yang tidak tahu sebagai etnis minoritas. Badui bukan etnis minoritas. Masyarakat Badui adalah bagian dari etnis Sunda.
Perubahan administratif suatu geografis tidak serta-merta menyebabkan etnis yang terpisahkan itu menjadi etnis Cina, Batak, Padang, dan lain-lain, sejauh kedua etnis terpisahkan oleh dinding administratif itu tetap terikat oleh filsafat, kesenian, bahasa, dan kepercayaan yang sama. Dan sampai hari ini, orang Badui masih bertutur kata Sunda, berfilsafat Sunda, berkesenian Sunda, dan berkepercayaan Sunda.
Orang Badui adalah salah satu komunitas Sunda yang cerdas memelihara dirinya dari jerat-jerat kebudayaan eksogen yang dihasilkan lewat out breeding kebudayaan luar yang dibawa oleh individu-individu yang miskin kultural. Orang Badui masih mampu memelihara identitas diri (self identity) etnisnya.
Identitas diri atau jati diri adalah cara seseorang memandang, membayangkan, dan mencirikan dirinya. Identitas diri pada umumnya ditampakkan lewat cara seseorang berpakaian. Pakaian orang Badui, sangat khas berciri etnik. Mereka tidak malu berpakaian tidak sebagaimana umumnya masyarakat sekelilingnya. Dan tak seorang pun di antara kita yang memandang rendah.
Kecuali orang Badui, kita termasuk orang-orang yang kehilangan identitas dirinya. Bangsa-bangsa yang cerdas memelihara identitas dirinya di antaranya adalah bangsa India, bangsa Afrika, bangsa Cina, bangsa Melayu, dan bangsa Jepang. Bangsa-bangsa tersebut sekurang-kurangnya tetap memelihara identitas dirinya lewat caranya berpakaian. Dan bangsa Sunda, daripada berpakaian etnisnya, mereka lebih memilih pakaian model bangsa Arab, seperti gamis dan surban. Bisa jadi orang-orang Sunda tersebut membayangkan, memandang, dan mencirikan dirinya sebagai orang Arab dan hal itu absah sangat.
Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, masyarakat yang memiliki konsep inti kesederhanaan ini belum pernah mengharapkan bantuan dari luar. Mereka mampu secara mandiri dengan cara bercocok tanam dan berladang (ngahuma), menjual hasil kerajinan tangan khas Badui, seperti Koja dan Jarog (tas yang terbuat dari kulit kayu Teureup); tenunan berupa selendang, baju, celana, ikat kepala, sarung serta golok/parang, juga berburu.
Masyarakat Badui bagaikan sebuah negara yang tatanan hidupnya diatur oleh hukum adat yang sangat kuat. Semua kewenangan yang berlandaskan kebijaksanaan dan keadilan berada di tangan pimpinan tertinggi, yaitu Puun. Puun bertugas sebagai pengendali hukum adat dan tatanan hidup masyarakat yang dalam menjalankan tugasnya itu dibantu juga oleh beberapa tokoh adat lainnya.
Sebagai tanda setia kepada Pemerintahan RI, setiap akhir tahun mereka menggelar upacara Seba kepada ”Bapak Gede” (Panggilan Kepada Bupati Lebak) dan Camat Leuwidamar.
Pemukiman masyarakat Badui berada di daerah perbukitan. Tempat yang paling rendah berada pada ketinggian 800 meter di atas permukaan laut. Sehingga dapat dibayangkan bahwa rimba raya di sekitar pegunungan Kendeng merupakan kawasan yang kaya akan sumber mata air yang masih bebas polusi.
Lokasi yang dijadikan pemukiman pada umumnya berada di lereng gunung, celah bukit serta lembah yang ditumbuhi pohon-pohon besar, yang dekat dengan sumber mata air. (bay)






Copyright © Sinar Harapan 2003

Try Out UN | Matematika | SD

Naskah Try Out UN untuk SD berikut ini sudah saya ujicobakan pada anakku menjelang UN 2011 : Try Out #1 - Matematika SD Try Out #2 - Matemat...